Friday, January 20, 2012

Menjajal Trek Downhill Cikole dan Hutan Pinus Jayagiri


Sabtu dua puluh empat september dua ribu sebelas, akhirnya saya dan tim goweser dari Cibubur Cycling Community (C3) Chapter Perumahan The Address@Cibubur kesampaian juga menjajal Trek Downhill Cikole dan Hutan Pinus Jayagiri. Bagi Team Goweser The Address, ini adalah gowes “perdana” ke lokasi tersebut yang dilakukan secara group, sebelumnya sudah ada yang pernah ke sana, namun secara sendiri-sendiri atau ikut dengan kelompok goweser lainnya. Bagi saya pribadi, sumpah, ini adalah trek downhill kedua menantang setelah Pondok Pemburu. Ya, maaf-maaf kata, karena saya baru berkesempatan menjajaki dua trek itu, sedangkan yang lainnya belum ada kesempatan, hehehe.

Rencana gowes ke Cikole ini sudah dibicarakan jauh-jauh hari, tepatnya sebelum idul fitri 1432 H (2011). Ketika pertama kali diinfokan, saya agak ragu juga untuk ikut. Pertama, mendengar kata trek downhill Cikole itu sendiri yang sudah terkenal dan seharusnya memerlukan spesifikasi sepeda yang khusus, yaaa… minimal fulsus… sementara sepeda yang saya punya adalah Hardtrail. Saya masih terbayang ketika menjajal trek Pondok Pemburu, sempat keteter dan hampir koprol alias mencium tanah. Kedua, secara gowes sendiri, akhir akhir ini, tepatnya dua bulan belakangan saya sangat jarang gowes di seputar jalur C3 Cibubur. Sehingga agak sanksi juga, apalagi yang akan dihadapi adalah trek yang sudah terkenal, baik di kalangan goweser biasa maupun para atlit downhiller.

Satu minggu sebelum tanggal keberangkatan yang direncanakan, saya masih belum mengiyakan alias tetap ragu-ragu untuk ikut, kira-kira mampu gak nih sepeda hardtrail saya masuk ladang downhill. Keragu-raguan saya semakin menjadi dengan peristiwa meninggalnya Downhiller dari Klub XC Malang, Om Herry Budiono, dalam ajang latihan resmi Unifikasi Komunitas Downhill Indonesia (UKDI) seri ke-5 di Malang, 15 September 2011 lalu (meskipun gak kenal langsung turut berduka cita yang mendalam).

Sampai pada satu hari sebelum keberangkatan rekan goweser satu komplek mencoba meyakinkan saya bahwa treknya gak se-ekstrim trek Malang, meskipun dia sendiri juga belum pernah menjajal alias baru dengar dari yang sudah pernah ke Cikole. Sekali lagi pertanyaan utama saya adalah kira-kira hardtrail saya bisa masuk gak. Secara rekan goweser di komplek hampir semuanya sudah pakai sepeda fulsus (minder sendiri…hahahaha). Namun karena rasa penasaran pula, akhirnya saya menyatakan “oke” dengan tentunya tak lupa ngurus “visa” dengan orang rumah, terutama si kecil…

Karena jarak yang cukup jauh dan supaya tidak terburu-buru, loading sepeda dilakukan pada jumat malam. Janjinya jam delapan, tapi berhubung pada kerja akhirnya sukses loading dari jam sembilanan sampai kira-kira sekitar jam dua belas malam. Goweser The Address yang berangkat kali adalah Om Mail, Om Adi, Om Benny, Om Eman, Om Dwi, Om Andi, saya sendiri, dan terakhir ada Om Eddy. Disamping itu ikut serta juga Om Rizal (temannya Om Benny). Karena Om Eddy sudah pernah ke Cikole sebelumnya, maka dalam rombongan ini nantinya beliau kita tunjuk sebagai Leader dan sambil merampungkan acara loading Om Eddy turut memberikan gambaran sedikit tentang jalur yang akan kami tempuh besok.

Tepat Pukul 05.30 WIB Sabtu, berangkatlah rombongan sirkus The Address menuju Bandung dengan menumpang dua mobil rekan goweser, sehingga ditambah pick up yang membawa sepeda total tiga mobil. Sebelum berangkat kita urunan dulu sebesar 200 ribu satu orang. Dikatakan rombongan sirkus karena secara spesifikasi sepeda tak satu pun dari kita yang menggunakan sepeda khusus trek downhill. Wajar saja, seperti yang dikatakan Om eddy, kita adalah rombongan pecinta Cross Country. Hanya model dengkul dan keinginan menjajal itu trek aja yang menguatkan kita semua.

Sekitar Pukul 07.30 WIB, kami keluar pintu tol pasteur. Saya kebetulan satu mobil dengan Om Eman, Om Mail dan Om Andi. Ternyata kami yang tiba atau keluar tol pasteur duluan. Supaya make sure rute selanjutnya, kami putuskan untuk menunggu dua mobil lainnya. Dinginnya udara Bandung turut mempengaruhi aliran diujung bawah, sehingga terpaksa dikeluarkan dibawah pohon disemak-semak pinggir tol. Sekitar sepuluh menit menunggu, dua mobil lainnya tiba. Kita diskusi sebentar tentang arah yang akan ditempuh dan tempat perhentian terakhir alias parkir, tentunya dengan arahan dari Om Eddy. Disepakati untuk parkir mobil di Mesjid Besar Lembang.

Pukul 08.30 WIB kami tiba di pelataran parkir Mesjib Besar Lembang. Lokasi mesjid ini tidak jauh dari RM Ayam Makan Brebes Lembang. Disini sudah menunggu rekan gowes dari kantor Om Benny (Radio Delta FM)… Om Iwoch, Tante Dede beserta Suami (Om Mardi) dan Om Purwoko. Yang membuat kami surprise ternyata diantara rombongan goweser dari Radio Delta FM ini dua orang belum pernah menjajal atau bersepeda di jalur tanah (Cross Country), yaitu Tante Dede dengan suaminya. Selama ini mereka gowes di jalur aspal, itu pun baru beberapa bulan mulai. Disamping itu, sudah menunggu juga dua pick up yang disewa dari Bandung untuk mengangkut kami nantinya menuju dan selama di Cikole.

Beruntung sahabat dari C3 DH-Elite mengirim Om Dennis Nugraha (yang kebetulan dikontak oleh Om Eddy) datang untuk mengawal kami nantinya. Begitu Om Dennis tiba, kami yang memang sudah siap sebelumnya langsung melakukan briefing. Briefing langsung dipimpin oleh Om Eddy dan Om Dennis. Disini kami dijelaskan gambaran umum kondisi trek yang akan kami hadapi. Mmmmm….. cukup ciut juga mendengarnya, tapi ya…. mau dibilang apa, tinggal dihadapi saja, lagian kalo gak nekat begini kita semua gak bakalan tahu…

Setelah doa bersama, sekitar Pukul 09.00 WIB kami beranjak meninggalkan parkiran Mesjid Besar Lembang menuju trek downhill Cikole yang terletak di Lokasi Wisata Taman Hutan Pinus Jayagiri Bandung dengan menumpang dua mobil pick up. Sementara sepeda tetap berada di pick up yang kami bawa dari Jakarta. Jumlah total goweser dalam rombongan kami adalah 14 orang. Perjalanan dari Mesjid Besar ke pintu gerbang masuk Taman Wisata ini sekitar 15 menit. Disini kami membayar tiket masuk sejumlah orang. Kami pikir pintu gerbang masuk tersebut adalah tempat start-nya. Namun ternyata masih lanjut lagi.

Dari pintu gerbang, pick up yang kami tumpangi melanjutkan perjalanan. Kondisi jalan yang dilalui campuran antara aspal dan bebatuan dengan pemandangan hutan pinus yang menyejukkan pada sisi kiri dan kanan. Belum tiba di lokasi start kami distop oleh salah seorang goweser yang ingin menumpang sampai ke atas, namanya Om Riky. Sepanjang perjalanan Om Riky menjelaskan sekilas gambaran umum trek downhill Cikole, yang tentunya hampir sama dengan penjelasan Om Dennis ketika briefing tadi.

Dari penjelasan Om Dennis dan Om Riky intinya trek Downhill Cikole terbagi dari beberapa jalur, mulai dari yang ekstrim (khusus untuk spesifikasi sepeda downhill) hingga untuk para pemula yang baru menjajal atau ingin mencoba dengan sepeda yang beragam spesifikasi (lebih dikenal dengan istilah chicken way). Trek utamanya sendiri berjarak 1,4 km dan bisa ditempuh sekitar 5 menit waktu tempuh normal. Sehingga kita nantinya bisa mengulang beberapa kali. Om Ricky sendiri mengatakan kalau lagi asyik bisa sampai belasan kali bolak balik di trek utama tersebut. Wow….. belasan kali? gak salah? hahaha…. belakangan baru saya tahu kalau Om Ricky ini adalah salah satu downhiller Bandung.

Sambil asyik ngobrol dan mendengarkan cerita Om Ricky, tak terasa kami tiba di lokasi start trek Downhill. Di lokasi ini sudah penuh dengan pada Downhiller dari Bandung dengan spesifikasi sepeda khusus downhill yang bikin ngiler..ler..ler…. hahaha. Ada yang pakai intens, yety, knoly, santa cruz, dan lainnya. Saya sendiri mumet menghafalnya.

Menyaksikan pemandangan tersebut lumayan membuat ciut hati dan pengen undur diri dari itu trek, hahaha. Satu per satu mereka meluncur menuju trek dan hilang di rimbunnya semak belukar hutan pinus. Sekali lagi kami di briefing oleh Om Dennis. Demi keselamatan, kami melakukan instruksi menurunkan seat post serendah mungkin dan mengurangi tekanan angin ban sepeda supaya tidak terlalu kencang. Kesempatan pertama ini akan dijadikan ajang pengenalan trek. Jadi kami diingatkan senantiasa waspada dan tidak terlalu terburu-buru. Kami juga diingatkan untuk senantiasa mengatur teknik pengereman serta posisi badan ketika layaknya di jalur turunan. Semua penjelasan atau instruksi yang diberikan betul-betul saya perhatikan, maklum… selain tantangan trek, tantangan tambahan bagi saya adalah jenis or spesifikasi sepeda… hardtrail…:-)

Sekitar Pukul 10.15, setelah merasa cukup mantab dan mengatur posisi urutan goweser, kami pun mulai memasuki trek. Sempat degdegan juga di awal manakala bertemu dengan bagian trek yang patah dan merupakan turunan curam. Untuk kali pertama ini saya tidak mau ambil resiko… turun kaki adalah keputusan terbaik, ketimbang koprol. Setelah merasa turunan yang akan dilalui di depan cukup aman baru saya naik kembali.

Pelan-pelan rombongan kami melewati bagian per bagian dari jalur yang memang baru dan sangat membutuhkan kewaspadaan tingkat tinggi. Padahal yang kami lewati adalah bagian trek yang disebut chicken way, tapi tetap tidak mudah dan harus awas mata. Dan benar saja… pada satu tikungan tajam dan lumayan curam satu rekan goweser, yaitu Tante Dede, terjatuh dan hampir terjungkal. Masih untungnya posisi laju sepedanya tidak terlalu kencang sehingga posisi tubuhnya tidak terlalu terbentur keras ke tanah. Kami seketika memberikan pertolongan dan berhenti sejenak. Beruntung lagi Tante Dede bisa berdiri kembali, dan setelah yakin tidak ada apa-apa baik dengan Tante Dede sendiri maupun dengan sepedanya, kami pun melanjutkan perjalanan.

Dalam setiap kali bersepeda, saya senangnya memilih berada di bagian belakang atau tengah rombongan. Gak tau kenapa, namun bagi saya posisi tersebut membuat saya nyaman dalam mengatur ritme. Kali ini pun demikian, saya memilih berada di posisi nomor tiga dari belakang. Baru saja kita mulai jalan lagi…pada satu turunan dengan tikungan tajam… tiba-tiba Om Andi yang berada di depan saya terjatuh dengan posisi terlempar dari sepeda. Karena saya tepat di belakang beliau, maka saya melihat persis bagaimana Om Andi terlempar, pertama sepeda beliau terbalik dan diikuti oleh Om Andi dengan posisi bagian muka yang pertama kali terhempas ke tanah, kemudian tubuh beliau terguling hingga dua kali lalu terseret sampai akhirnya diam. Saya langsung menekan rem dan sempat panik juga menyaksikan kejadian beliau, sambil saya sendiri berusaha menghentikan laju sepeda secepatnya (karena tidak begitu mudah menghentikan laju sepeda pada kondisi turunan seperti itu, alih-alih kalau tidak hati-hati kita sendiri bisa menyusul terjungkal…).

Begitu sepeda saya berhenti saya segera lempar dan bergegas menuju ke posisi Om Andi terkapar. Saya liat beliau gemetaran dengan mata seperti orang yang tidak bisa melihat. Wah saya makin panik… diam sesaat sambil posisi berusaha memangku kepala beliau, sampai akhirnya tersadar dengan ucapan beliau yang minta dibantu duduk. Alhamdulillah akhirnya beliau bisa ngomong dari yang tadinya diam dan kaku. Saya tidak serta merta menuruti ucapannya, karena saya belum yakin betul kondisi beliau terutama bagian kepala dan leher. Saya khawatir jika terjadi sesuatu di bagian tersebut (karena memang saya lihat posisi beliau terjatuh) dan kemudian beliau saya angkat maka akan memperparah. Maka dari itu saya bilang ke Om Andi untuk sementara tetap tiduran dulu di tempat supaya bisa tenang dulu.

Teman goweser lain kemudian tiba di posisi kami dan turut memberikan arahan pertolongan, mengecek kondisi dan memandu memulihkan kondisi beliau supaya bisa tenang. Syukurlah, setelah dicek tidak ada bagian tubuh Om Andi yang terluka parah atau sampai patah sebagaimana yang kami khawatirkan. Yang pasti luka lecet di pelipis dan pipi yang tampak dari luar. Setelah merasa yakin, khususnya bagi Om Andi, kami pun melanjutkan meluncur di trek. Berkaca dari kejadian tersebut kami semua semakin meningkatkan kewaspadaan mengingat jalur yang dilalui semakin menggila.

Sebelum lanjut tadi saya sempat mengamati bagian jalur yang membuat sepeda Om Andi terjungkal. Memang tidak bisa dihindari khususnya bagi kami yang baru pertama melintas disini. Sebelum titik tersebut kondisi jalur berupa turunan dengan tikungan tajam dan dihalangi semak. Pada titik jatuhnya sepeda tersebut ternyata ada bagian yang berupa gundukan tanah dan setelah gundulan tersebut dibuat lekukan patah dan agak berlubang. Posisi kaget dan mengerem sepertinya yang menyebabkan sepeda Om Andi terjungkal. Karena saya perhatikan tadi setelah ban depannya melewati gundukan langsung terjatuh dan membentur bibir lekukan tanah dibawahnya, sehingga ban depan tertahan dan menyebabkan sepeda koprol. Ditambah lagi posisi seat post sepeda beliau yang masih tinggi sehingga mempengaruhi posisi tubuh. Hmmmm…….

Selang beberapa menit kemudian kami pun tiba di titik finish yang berupa tikungan miring dan superball untuk jumping. Tentunya diantara kami tidak ada yang berani melewati bagian tersebut, karena merasa tau diri dengan spesifikasi sepeda yang dipakai, hehehe. Kami beristirahat dulu dan Om Andi mendapatkan penanganan/pearawatan lebih lanjut dari Tim kesehatan jalur. Total waktu tempuh pada penjajakan kali pertama adalah lebih kurang lima manit.

Merasa kondisi sudah pulih, termasuk Om Andi, kami siap-siap mengulang jalur. Sepeda di loading kembali ke pick up dan dengan menumpang pick up tersebut kami berangkat menuju posisi start. Tiba di tempat start kami atur posisi goweser. Kali ini yang sedikit berisiko dengan sepedanya ditarok diurutan tengah, saya sendiri ada di barisan belakang. Setelah melakukan persiapan, kami pun kembali meluncur. Untuk yang kali kedua ini rasanya tidak setegang yang pertama, mungkin karena mulai terbiasa dengan kondisi jalur yang dilalui. Namun disini tetap terjadi insiden. Kali ini Tante Dede kembali terjatuh, beberapa meter dari garis finish karena ban sepedanya melindas akar pohon pada satu tikungan tajam. Tapi untungnya tidak parah dan Tante Dede bisa melanjutkan sampai finish.

Kami kemudian istirahat sebentar sambil menyantab gorengan. Lalu kembali loading sepeda ke pick up untuk siap-siap menuju tempat start kembali. Untuk kali ke-tiga ini Tante Dede memutuskan untuk tidak ikut, sementara Om Andi masih oke untuk ikut. Sekali lagi kami pun dibawa oleh pick up menuju tempat start. Ambil posisi sebentar…lalu meluncur kembali. Perjalanan mulus tanpa hambatan, semua goweser mungkin sudah mulai paham dengan rute yang dilalui. Hanya saja ketika masuk garis finish Om Adi mencoba jalur superball dan…..gedubrak! Om Adi terjatuh di bagian dasar jalur yang berlapiskan pasir. Sekali lagi untunglah kondisinya tidak parah.

Dari sini kami tidak langsung istirahat, tapi melanjutkan mencoba single trek yang panjangnya sekitar 0,3 km. Melewati trek ini adrenalin kita lumayan dipacu mengingat trek yang dilalui sangat sempit dan berbatasan langsung dengan jurang. Saya sendiri pada bagian pertama trek tidak berani menaiki sepeda karena turunannya sangat curam dan terjal, alih-alih kalo ndak bisa handle sepeda langsung meluncur masuk ke jurang. Maka dari itu saya tidak berani ambil resiko. Baru kemudian pada bagian yang sedikit aman saya mulai mengayuh. Tapi lagi-lagi tantangan buat saya yang menggunakan sepeda Hardtrail, hampir bisa dipastikan sembilan puluh persen pantat saya tidak duduk pada tempatnya, maklum lah… daripada daripada…hehehe… Tiba di jalan utama, kami sempatkan foto-foto dulu sembari menunggu loading sepeda ke pick up. Kami pun kembali ke tempat finish.

Tiba di tempat, kami putuskan untuk tidak istirahat dulu, tapi masuk ke single trek lagi. Meskipun tadi sudah dilewati, untuk kali kedua ini saya tetap tahu diri dengan kondisi sepeda, diawal-awal jalur tetap ndak berani saya tunggangi karena turunannya tidak cukup nyaman buat sepeda hardtrail saya. Alih-alih bisa terjungkal dan lanjut ke lembah jurang, hehe.

Namun lepas dari bagian ini saya langsung tancap gas…eee…maksudnya kayuh pedal, tentunya dengan tetap berhati-hati dengan kondisi jalur yang sempit dan banyak akar pepohonan, serta tak lupa… always angkat pantat dari sadel. Nah, saking pede-nya dengan jalur… kali ini kami finish pada beberapa titik yang berbeda, karena memang kondisinya ada beberapa cabng jalan. Tapi bermuaranya tetap ke jalan utama. Alhasil, meskipun tercerai berai kami semua tetap sampai di jalan utama dengan selamat. Setelah semua tim nongol dari semak-semak hutan pinus nan rindang, kami pun loading sepeda ke pick up dan kembali ke titik finish untuk beristirahat, sholat zhuhur dan makan-makanan ringan. Sekitar Pkl. 14.15, kami undur diri dari lokasi finish trek downhill Cikole, tak lupa berpamitan dengan beberapa tim downhill bandung yang masih berada di sana.

Tujuan kami selanjutnya adalah arah pulang, namun melalui trek hutan Jayagiri. So.. kami loading sepeda kembali ke pick dan menuju starting point dari Trek Hutan Pinus Jayagiri yang ternyata berseberangan dengan tempat start Trek Downhill Cikole. Karena kondisi, maka Om Andi yang tadi sempat terjatuh terpaksa tidak ikut rombongan, dia ikut mobil pick up langsung balik ke Mesjid Besar.

Kami start dari mulut masuk trek hutan pinus Jayagiri sekitar Pkl. 14.30. Treknya sangat asyik dan teduh, karena melintasi rimbunnya pepohonan hutan pinus. Namun harus hati-hati, karena jalurnya juga sering dilalui oleh tim motor cross, maka kondisi jalurnya jadi menyerupai alur parit, sehingga jika kita tidak hati-hati bisa terpeleset. Sembilan puluh persen trek nya adalah turunan, dan mungkin separohnya adalah turunan tajam, dan sekitar seperempat persennya adalah turunan super curam. Artinya super curam disini, jangankan untuk digowes, menyusuri turunannya dengan menenteng sepeda saja sudah menjadi perjuangan yang berat. Untungnya Om Dennis, setia menemani dan memberikan arahan-arahan di setiap titik krusial yang akan kami lalui.

Sekitar Pukul 15.00 kami tiba di mulut luar trek hutan Jayagiri, disini kita akan disuguhi pemandangan yang asyik dengan sisi sebelah kiri adalah lembah jurang yang sangat dalam. Sehingga harus hati-hati. Kami sempatkan disini utnuk foto bareng, tentunya minus Om Andi (yang tidak ikut) dan Om Dennis (yang menjadi juru keker-nya, hehehe). Setelah itu kami pun meluncur menyusuri jalan aspal yang asyik (karena berubah trek menurun). Nikmat rasanya, setelah meluncur di trek yang mengguncang adrenalin, sekarang kami menyusuri aspal tanpa harus banyak mengayuh pedal. Sekitar Pkl. 15.15 kami pun finish di Mesjid Besar Lembang kembali.

Ritual selanjutnya adalah seperti biasa… kita kumpul dan mengucap syukur bahwa meskipun ada beberapa teman yang sempat terjatuh, namun seluruhnya bisa kembali ke tempat finish dengan selamat. Ritual dilanjutkan dengan bersih-bersih… nyemil-nyemil… dan makan-makan… Lalu, bersiap pulang ke Jakarta, sambil tak lupa membeli oleh-oleh buat orang rumah, supaya pasport untuk gowes AKAP selanjutnya bisa disetujui….:-) (Sumber Foto: Dede R. Hidayat Facebook)

Friday, January 13, 2012

Jelajah Alam dengan Sepeda

sumber: Kompas Cetak
| Inggried Dwi Wedhaswary | Sabtu, 14 Januari 2012 | 08:42 WIB

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYATPesepeda dari Adventuriders melintasi pematang ladang di kawasan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/1)


Andy Riza Hidayat dan Antony Lee
KOMPAS.com - Tinggalkan penat kota Jakarta. Kayuhlah sepeda ke alam bebas, menjajal sensasi medan liar dan menikmati kehidupan warga di selatan Jakarta. Bersiaplah bersepeda di jalan tanah pematang sawah, ladang, hutan, kemudian singgah di warung-warung kampung.
Hari itu, tanah masih basah akibat hujan semalam. Kamis (12/1) sekitar pukul 07.00, empat anggota Adventuriders membuat janji bertemu di Perumahan Raffles Hills, Cibubur, Depok, Jawa Barat. Mereka berencana menyusuri jalur alam bebas ke kaki Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Tidak lama setelah berkumpul, melakukan pemanasan, dan menyetel sepeda, mereka mengayuh sepeda melipir jalan tanah keluar perumahan tersebut.
Tanah kemerahan yang mereka lintasi sedikit liat sehingga diperlukan teknik mengayuh agar tidak terpeleset jatuh. Apalagi, medan jalan naik-turun secara alami. Jalur tanah seperti itu memang menjadi pencarian mereka. Sensasinya tidak terkatakan.
Komunitas ini memiliki rute alam bebas dengan jarak tempuh mulai 19 kilometer sampai 60 km. Rute tersebut menjangkau area Depok, Bekasi, dan Bogor. Setiap rute tidak melulu tanah, seperti ketika mereka menuju kaki Gunung Putri. Ada area perkampungan dengan jalan berbatu dan beton, sesekali (karena tidak ada pilihan) melintasi aspal perumahan.
Petualangan ini dapat dinikmati di kaki Gunung Putri dan lereng Gunung Salak. Komunitas sepeda pencinta alam bebas biasa menyusuri rute tersebut dari Depok atau Kota Bogor, tergantung kesepakatan dengan rekan sepetualangan.
”Sensasinya tidak terkatakan. Murah dan menyehatkan. Mulanya hanya mencoba, kemudian ketagihan sampai sekarang,” tutur Budhi Yudhiono (43), dedengkot komunitas pesepeda Adventuriders.
Hal yang sama dilakukan tiga lelaki dari komunitas pesepeda Bogor, menembus alam ke kaki Gunung Salak. Mereka menjajal rute Tajurhalang yang sudah lumayan kondang di kalangan pencinta sepeda. Rute ini menawarkan pemandangan menarik sekaligus tantangan bagi penyuka jalur tanjakan.
Pada saat bersamaan, Awei (56), Wei Min (45), dan San San (49) mengawali perjalanan dari Lapangan Sempur, Kota Bogor, Kamis sekitar pukul 07.00. Dari sana, mereka baru bertolak ke Orchard Walk di Bogor Nirwana Residence (BNR). Lokasi itu biasanya menjadi titik kumpul penggowes dari Jakarta atau Bogor yang akan menjajal rute Tajurhalang di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Dari BNR menuju Patung Kuda di Cijulang, Bogor, pesepeda dapat memilih medan jalan dan jarak tempuh mulai dari 24 km sampai 26 km pergi-pulang. Jalur alam bebas yang medannya lebih berat dapat ditempuh menuju Goa Langkop. Di rute ini, pesepeda dapat menikmati sensasi tanjakan dengan kemiringan 45 derajat. Selain tantangan medan, mereka juga mendapat suguhan pemandangan Gunung Salak yang indah. Pada titik ketinggian tertentu menjelang Cijulang, pesepeda bisa melihat Kota Bogor, bahkan jika cuaca cerah bisa melihat sebagian wajah Jakarta.
”Ini rute favorit karena tidak terlalu berat. Ibu saya yang usianya 70 tahun juga masih bisa sampai ke Cijulang,” kata Wei Min yang punya toko sepeda di Jalan Semeru, Kota Bogor.
Pesepeda di alam bebas harus siap berimprovisasi dengan rute yang dilaluinya. Rute petualangan sering kali berubah menjadi perumahan atau jalan beraspal.
Sigit (50) dari komunitas Adventuriders, misalnya, mengaku beberapa kali terkejut. Jalan tanah yang bulan lalu dilalui sudah menjadi rumah orang. Namun, bersepeda di alam bebas tetap saja menantang.